Ponorogo Drawing Community

Perkembangan mutakhir seni rupa Ponorogo tak lepas dari percaturan wacana teori dan praktek yang sekarang sedang terlaksana di medan sosial seni rupa Indonesia. Namun demikian, sedikit banyak alur perkembangan diatas mulai mengarah pada kehendak untuk dapat memosisikan seni rupa bumi reyog ini dalam peta pergumulan seni rupa Indonesia. 

Ponorogo sebagai wilayah paling barat di Provinsi Jawa Timur telah memiliki reputasi khusus pada wilayah kesenian dan kebudayaan nasional. Corak kehidupan masyarakatnya yang kulturistik “semestinya” menjadi peluru dahsyat untuk merubah peta kesenian Indonesia yang cenderung lebih mangarah ke wilayah tertentu. Daerah ini telah terhitung cukup lama menelusuri perjalanan sejarahnya, dari pengaruh Hindu-Budha, masuknya pengaruh Islam, penetrasi budaya modern, hingga masa-masa untuk menentukan pilihan corak kebudayaanya sendiri.

Peran komunitas seni rupa demikian vital bagi dinamika dan perkembangan seni rupa Ponorogo. Minimnya komunitas yang mengkhususkan diri bergerak di ruang seni rupa secara tak sadar mempengaruhi intensitas gerak kesenian. Praktis aktivitas seni rupa di tiga dasawarsa terakhir, lebih didominasi oleh sanggar Shor Zambou yang  cenderung mengondisikan gerakan visual pada wilayah seni lukis.





foto dokumentasi kegiatan lainya klik https://www.facebook.com/pg/PonorogoDrawingCommunity/photos/?tab=album&album_id=534795159863868&ref=page_internal

Diperlukan lahirnya komunitas-komunitas baru yang diharapkan dapat membentuk iklim seni rupa wilayah secara lebih kompetitif dan positif dalam konteks membangun seharusnya.
Sejalan dengan itu, setiap pameran karya-karya seni rupa Ponorogo di satu sisi selalu bertujuan untuk menghadirkan wacana proses dan proses aktivitas yang tengah terjadi.

Pergerakannya sendiri cenderung masih berkutat pada hal-hal pragmatis. Patut diakui bahwa karya-karya yang digelar hanyalah bagian mikro dari proses makro. Pameran-pameran yang dihelat sebagian besar masih berkisar pada tampilan karya-karya dua dimensional dengan kecenderungan media konvensional pula (kanvas dan cat) yang belum seluruhnya merepresentasikan peta perkembangan. 

Namun ada sebagian kawan-kawan perupa semisal Pak Tato, Sugeng Ariyadi, Achmad Dardiri, dan Z Musthofa pernah bereksperimen dengan media non konvensional. Diluar karya-karya ini minim dijumpai bentuk visual menghentak dan ragam media seperti tiga dimensional, keruangan, multi-media, bahkan media baru.

Entah tersadar atau bukan akan hal diatas, beberapa kawan penggiat seni rupa diantaranya ; Sugeng Ariyadi, Sugeng Widodo, Chacha Azzahra Huwaida, Rangga Singgih, Elis Setyawati, Alfan Reza F, dan Candra AR, sepakat mengamini karya drawing sebagai pilar dan kunci bagi terbentuknya Ponorogo Drawing Community (PDC). PDC lahir dari perenungan pribadi beberapa anggotanya yang menginginkan apresiasi positif dari masyarakat Ponorogo dan sekitarnya. Komunitas ini hadir berdasar visi dan misi dalam pergerakan visual yang lebih mengarah pada jenis karya dan media khusus.

Sebagai komunitas baru, pergerakan PDC memang belumlah cukup untuk diapresiasi secara lebih dan mendetail. Tetapi dari segi niatan, keinginan bergerak dan berbuat adalah upaya serius yang dapat kita kaji tidak hanya sebagai wacana alternatif belaka, melainkan menjadi wacana menggebrak dan apresiatif.

Pameran Human Face

Pameran perdana dalam rangka deklarasi Ponorogo Drawing Community mengambil tajuk “Human Face” menjadi kegiatan yang patut diapresiasi positif. Pertama, event ini bertransformasi menjadi semacam acara perkenalan kepada masyarakat Ponorogo tentang seluk beluk dunia seni rupa pada umumnya, serta drawing pada khususnya.

Kedua, menjadi gerakan awal bagi PDC untuk menunjukkan eksistensi melalui geliat kesenimanan yang dikolaborasi dengan berbagai kegiatan sesuai dengan maksud dan tujuan. 

Ketiga, kegiatan ini menjadi semacam ajang “pencarian bakat” bagi drawinger untuk dieksplorasi secara struktural dan profesional, tentunya dalam wadah nyata yang konstruktif. 
Istilah “Human Face” dimaksudkan sebagai ladang inspirasi bagi drawinger untuk memanfaatkan wajah manusia sebagai objek dan konsep inti pada dominasi visual karya.

Wajah dengan keheterogenan karakter diharapkan dapat memantik empati para drawinger untuk mengeksekusi secara artistik. Selain itu, wajah dapat dikonotasikan sebagai referensi yang kapan saja dapat dibaca dan diapresiasi melalui bahasa visual.

Seperti lazimnya perkenalan , fungsi pameran ini lebih menekankan diri sebagai ungkapan “kulonuwun” untuk mengantarkan wacana. Sebuah pengantar (discourse) umumnya berikhtiar untuk menjelaskan secara gamblang tentang perihal yang hendak diuraikan. Hantaran dalam pameran ini berupa sekumpulan karya yang menginginkan tindakan khusus dari masyarakat yaitu apresiasi yang mengarah pada kemesraan penikmat, karya, dan pengkarya yang berujung pada pengakuan eksistensi. Atau setidaknya, pameran ini menjadi bagian dari referensi perkembangan dunia seni rupa Ponorogo, termasuk didalamnya penikmat akan dihadapkan pada kenyataan tentang keberagaman visual dan muatan tuturan.

Pameran yang akan dibuka tanggal 17 November 2012 ini mengambil space di gedung serbaguna Betri yang masih dalam wilayah Pemancingan ikan Betri. Sebuah tempat yang tepat mengingat di Ponorogo sendiri belum tersedia galeri khusus untuk menampung hasil karya seni dari masyarakatnya. Disamping itu pameran ini dapat dikatakan akbar mengingat kuantitas peserta yang melibatkan beberapa drawinger berpengalaman dari berbagai kota diantaranya Malang, Gresik, Surabaya, Blitar, Magetan, Pacitan, Trenggalek, Lamongan, Madiun, Yogyakarta, dan Ponorogo sendiri.

Dari keberadaan PDC dan event ini, nantinya diharapkan bisa dipetik berbagai tafsir tentang perspektif kesenian yang mengarah pada kajian positif dalam wilayah kesenian Ponorogo secara global, maupun  pengakuan jati diri seni rupa secara nasional. Semoga ..

Selamat berjuang kawan-kawan
Salam Budaya.

Oleh “Andry Deblenk”