EKSISTENSI PERUPA DALAM PERKEMBANGAN SENI RUPA PONOROGO
Rido Kurnianto
Dosen FAI UNMUH Ponorogo
Disajikan pada Sarasehan Komunitas Pelukis (Perupa) Ponorogo, Warung Wakoka Ponorogo, Senin, 26 Agustus 2019






Sebagai khalifah di bumi, manusia merupakan makhluk terindah yang dianugerahi  potensi dasar yang sangat menakjubkan, salah satunya berupa kemampuan berimajinasi. Dengan anugerah ini, manusia kuasa mengembangkan kemampuan estetiknya, yang wujud konkritnya berupa seni, baik yang bersifat imanen maupun transenden. Dengan demikian, seni budaya merupakan manifestasi perasaan keindahan yang dibawa sejak lahir, sebagai fitrah yang harus dijaga dan disalurkan dalam kehidupan.
Pengalaman estetika merupakan sarana pencarian makna (meaning) dan menguak kebenaran yang tersembunyi di balik simbol-simbol tertentu. Makna dan kebenaran suatu piwulang (ajaran) seringkali tidak tampak secara eksplisit (mantuq) dan dengan laku budaya, ia akan mudah tersingkap. 
Budaya adalah kebutuhan hidup dan dalam banyak hal mengandung kemanfaatan, baik dari segi muatan maupun fungsinya. Dari segi muatan, budaya menyampaikan piwulang, nasihat, kritik, cerita tentang kebenaran dan kebaikan. Dari segi fungsi sosialnya, ia dapat menciptakan kedamaian (peace maker), sarana rekonsiliasi, mencairkan kebekuan, ketegangan, dan seterusnya.
Dalam perspektif dakwah, budaya dan seni merupakan sarana membentuk manusia menjadi insan kamil. “Manusia sempurna”  adalah hamba Allah yang mampu menjalankan kebenaran dengan cara yang benar, dan menyampaikan kebenaran dengan cara yang etis dan berbudaya (melalui pesona kelembutan, tutur kata yang sopan, dan kehalusan budi pekerti).[1]
Tulisan ini mencoba mengkaji seni lukis (seni rupa) dalam kisaran maziyyah (kehebatan, kelebihan) yang dilekatkan pada diri sebagian hamba Allah hingga mampu menggerakkan tangan-tangan lembutnya di atas lembaran-lembaran suci. Sebuah lukisan yang ditorehkan, sudah barang tentu,  bukan tanpa makna. Sebuah lukisan suci selalu momot piwulang luhur, bahkan mampu menyampaikan sejuta bahasa yang tidak terucap dan tertuliskan. Tanpa mengurangi keindahan substansi tema ini ketika dibahas, tulisan ini diarahkan pada keniscayaan status para pilar (tokoh) nya terkait dengan masih “kecil” nya kesadaran para kuasa untuk mengakui eksistensi para perupa dalam membangun peradaban unggul melalui bahasa lukis.  
Mengenal Karakter Budaya Masyarakat Ponorogo
Sebagai kota yang terletak di ujung barat wilayah Jawa Timur dan wilayah yang paling dekat dengan kota Solo dan Yogyakarta dengan ciri khas budaya Mataraman, Ponorogo menjadi unik karena tidak termasuk kota yang terpengaruh budaya Mataraman secara mutlak. Sementara secara geografis keberadaan kota ini di tanah Jawa Timur dengan budaya keraton Majapahit yang dominan, tetapi juga tidak mempengaruhi karakter budaya Ponorogo secara mutlak. Dengan demikian, kota Ponorogo nampaknya cukup kuat dengan karakternya sendiri, yakni karakter Ponoragan, sekalipun warna Mataraman dan Majapahit juga tetap terlihat dalam ekspresi budayanya. 
Di Ponorogo terdapat kerabat kerajaan yang menurut berbagai sumber tutur diangkat sebagai menantu kerajaan, yakni Hasan Besari. Di kemudian hari Hasan Besari menjadi tokoh penting berdirinya pondok pesantren Tegalsari Jetis Ponorogo.  Beliau menurunkan keturunan ningrat yang tersebar di berbagai wilayah di Ponorogo, misalnya di Coper Jetis (Raden Supandi), di Kradenan Jetis, di Tegalsari sendiri, dan lainnya. Seperti yang terjadi di lingkungan budaya keraton, pelapisan sosial ini juga berdampak terhadap pola hubungan antara masyarakat biasa dengan kaum ningrat. Mereka dari golongan rendah (rakyat) akan menghormati kepada golongan yang ada di atasnya. Sikap hormat bisa dinyatakan melalui tutur kata pada waktu berbicara atau bertemu.
Aliran kepercayaan yang juga dibawa dari lingkungan keraton ke Ponorogo yang paling berkembang pesat adalah Purwa Ayu Mardhi Utama (PAMU). Para warok sepuh kebanyakan memeluk aliran kepercayaan ini. PAMU ini memiliki cukup banyak pengikut, terutama dari kalangan masyarakat pedesaan. Secara rutin mereka menggelar pertemuan dan sekaligus ritual bersama setiap malam bulan purnama dengan melantunkan tembang semacam macapat. Dalam prosesi Grebeg Suro, PAMU juga mengambil peran yang cukup strategis, yakni melakukan kegiatan ritual macapat pada malam hari menjelang 1 Muharram di Pendapa Kecamatan Ngebel Ponorogo yang secara resmi menjadi bagian dari kegiatan grebeg. Sekalipun demikian, PAMU belum mampu mengembangkan ajarannya kepada masyarakat luas, mengingat mayoritas masyarakat Ponorogo adalah beragama Islam, sekalipun sebagian besar diantara Muslim sendiri tergolong Muslim yang belum taat. Artinya, pengaruh budaya keraton pada aspek kepercayaan tidak begitu besar. 
Seiring waktu, bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau pendidikan, tidak lagi tampak secara tegas adanya perbedaan golongan atau pelapisan sosial di dalam masyarakat. Pengaruh perkembangan pendidikan menyebabkan perubahan status sosial juga mengalami perubahan. Jadi terjadi social mobility, yakni terjadinya perubahan sosial seseorang dari status sosial yang rendah menjadi status sosial yang tinggi disebabkan oleh ilmu pengetahuan atau pendidikan yang mereka miliki. Pelapisan sosial bahkan sudah hilang. Masyarakat Ponorogo memandang status orang sudah tidak lagi berdasarkan “trah” (keturunan), tetapi berdasarkan kapasitas keilmuan dan kepribadiannya. Karena itulah, mereka lebih menghormati para tokoh informal ketimbang para tokoh formal, karena dalam anggapan mereka para tokoh informal lebih memiliki integritas kepribadian yang tinggi.
Nilai Budaya Ponoragan
Kajian tentang nilai budaya Ponoragan akan penulis dekati dari sistem religi, sistem organisasi masyarakat, sistem mata pencaharian dan ekonomi, sistem bahasa, dan sistem kesenian. Dalam konteks, sistem religi, semua orang Ponorogo adalah Muslim dalam pengertian langsung dan mereka ikut ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan Islam, seperti perayaan hari besar Islam, ritus-ritus Islam, berdoa saat pemakaman, ziarah kubur, dan lain-lain. Dalam banyak hal, orang Ponorogo, seperti di tulis Beatty cenderung menekankan bagian Jawa dari warisan kultural mereka dan menganggap afiliasi Muslim mereka sebagai hal skunder.[2]
Disamping kepercayaan monoteisme, masyarakat Ponorogo, seperti masyarakat di daerah Jawa pada umumnya, juga memiliki kepercayaan animistis dan dinamistis. Untuk menunjukkan kepercayaan ini, masyarakat Ponorogo masih percaya adanya roh atau arwah orang yang sudah meninggal dunia yang disebut dengan leluhur.  Karena itu, sebagaimana ditulis Purwadi, bahwa konsep leluhur selalu ada dan hidup dalam alam pikiran mereka. Sekalipun sudah jarang ditemui, tetapi masyarakat Ponorogo yang tinggal di pedesaan terpencil, masih sering meyakini, bahwa para leluhur tersebut telah menjelma menjadi makhluk halus yang menempati alam sekitar tempat tinggal manusia (misalnya hutan, di dalam bagian rumah tempat tinggal mereka, pohon-pohon besar) dan selalu mengawasi tingkah laku mereka.[3]
Disamping kepercayaan yang animistis, masyarakat Ponorogo juga memiliki kepercayaan dinamistik, yakni menganggap benda-benda tertentu mempunyai kekuatan gaib, misalnya keris, tombak, dan benda-benda pusaka yang lain.[4]Benda-benda tersebut dianggap “jimat”. Benda-benda pusaka ini secara rutin dilakukan ritual penyucian (pembersian) dengan air bunga dan dilakukan bersamaan dengan bulan suro (Muharram).
Di Ponorogo juga terdapat kehidupan spiritualitas berbasis tradisi “ningrat” (Mataraman), yakni upacara “kirab pusaka” sebagai sebuah tradisi napak tilas perpindahan ibukota Ponorogo dari ibukota lama (daerah Setono Ponorogo) ke ibukota baru (sekarang Pemkab Ponorogo) yang diselenggarakan menjelang tanggal 1 Muharram (sehari sebelum tanggal 1 Muharram). Disamping itu, di Ponorogo juga terdapat upacara larungan[5], yang diselenggarakan setiap tanggal 1 Muharram sebagai kelanjutan tradisi “kirab pusaka”. Tradisi grebeg ini diselenggarakan di tempat wisata Telaga Ngebel Ponorogo.   
Satu hal yang cukup menarik, tradisi larungan ini, sebagaimana ditulis Kurnianto, melibatkan semua unsur masyarakat kepercayaan dan agama dalam penyelenggaraan larungan ini, yakni masyarakat pemeluk agama asli (animisme-dinamisme), aliran Kepercayaan/Kejawen, Hindhu-Budha, dan Islam.[6]
Dalam perspektif sistem organisasi masyarakat, masyarakat Ponorogo, secara kultural sangat menghormati tokoh-tokoh formal yang berposisi sebagai pejabat pemerintah (pangreh praja). Pada aspek ini, nampaknya pengaruh budaya Mataraman cukup kental. Hingga kini, dalam praktik kehidupan sehari-hari masih cukup bukti signifikansinya, misalnya, orang Ponorogo akan sangat tersanjung apabila acara hajatan (misalnya pesta perkawinan) mereka dihadiri oleh pejabat.[7]
Sementara itu, masyarakat Ponorogo juga memiliki keunikan (keluar dari budaya Mataraman), mereka juga menghormati tokoh-tokoh informal yang secara kultural dan sosial memiliki status yang cukup penting, seperti Warok dan Ulama. Bahkan dalam kondisi tertentu, status para tokoh informal ini jauh lebih dihormati daripada tokoh formal.  Bahkan dalam banyak hal, status para tokoh informal (para Warok Ponorogo) selalu juga menjadi rujukan para pejabat itu sendiri dalam hal menyangkut kebijakan-kebijakan terkait pemerintahan maupun lainnya, sekalipun pada beberapa kondisi, peran Warok, sering tidak seimbang dengan posisi sosialnya yang strategis (penyambung masyarakat-penguasa), yakni dimanfaatkan oleh penguasa sebatas sebagai alat pengerah massa. Dalam terminologi Keller warok adalah elit strategis yang segala pemikirannya harus diperhitungkan oleh elit penguasa karena mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat.[8]
Ditinjau dari sistem pengetahuan, ketika masih subur-suburnya ilmu kanoragan, tradisi keilmuan masyarakat Ponorogo lebih dominan bertumpu pada kesaktian dan kekebalan tubuh. Ideologi kanoragan menjadikan konsentrasi masyarakat Ponorogo pada aktifitas “prihatin” (mengurangi aktifitas keduniaan, misalnya dengan puasa dan bertapa) atau “nglakoni”(melatih kekuatan jiwa dengan melalui pengendalian diri dari berbagai hal yang bersifat duniawi). Orang yang berhasil melakukan dengan baik, akan lahir menjadi seorang yang ahli di bidang kanoragan. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan Warok Ponorogo. Tradisi “gemblak”, konon tumbuh subur pada saat tradisi keilmuan masyarakat Ponorogo dibawah kendali ideologi kanoragan ini.
Perkembangan masyarakat Ponorogo yang bersamaan dengan perkembangan di bidang ilmu dan teknologi, ternyata memudarkan tradisi kanoragan ini menuju tradisi keilmuan rasional. Kesadaran masyarakat Ponorogo akan pentingnya pendidikan sekolah, berakibat pada terjadinya pergeseran kecenderungan masyarakat dari tradisi ilmu kanoragan kepada tradisi berpikir ilmiah. Seiring dengan fenomena ini, terjadi pula pergeseran status dan definisi Warok. Tokoh sentral (Warok) yang semula harus berbasis kanoragan dan kesaktian tubuh, bergeser pada tokoh (Warok) berbasis intelektualitas dan kemanfaatan yang dihasilkan untuk pembangunan peradaban Ponorogo. Oleh karena itu, banyak tokoh dari berbagai latar keilmuan, status social, dan keagamaan yang diangkat sebagai Warok Ponorogo karena telah memiliki kontribusi dalam pembangunan peradaban Ponorogo. Bahkan banyak orang yang diangkat menjadi “warok kehormatan” bukan karena ilmu kanoraganyang dimiliki atau bukan karena putra Ponorogo yang berprestasi dan berkontribusi bagi kemajuan Ponorogo, tetapi berdasarkan popularitas yang disandangnya, sekalipun orang tersebut berasal dari daerah lain (di luar Ponorogo), seperti Abu Rizal Bakri karena ketokohannya dalam partai Golkar. 
Ditinjau dari sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi, mayoritas masyarakat Ponorogo beraktifitas ekonomi sebagai petani. Namun demikian, beberapa even budaya, seperti grebeg suro, telah berperan dalam mengembangkan dan meningkatkan aktifitas ekonomi masyarakat. Jusuf Harsono menyatakan, bahwa Suro-an (Grebeg Suro) identik dengan ekonomi kerakyatan khas Ponorogo, karena even inilah yang dijadikan momen penting bagi perantau maupun pengunjung Grebeg Suro dari luar untuk mengenal dan menikmati produk khas Ponorogo, seperti; sate ayam, nasi pecel, dawet gempol, dawet jabung, jenang bata, jenang debog, souvenir Reyog Ponorogo (kaos bergambar Reyog, miniatur Reyog, bathik Reyog) , dan sebagainya.[9]
Disamping kegiatan budaya, kegiatan Grebeg Suro di Ponorogo menjadi kegiatan ekonomi yang sangat strategis, mengingat kegiatan ini merupakan kegiatan besar yang melibatkan berbagai pihak; pemerintah daerah, swasta, masyarakat Ponorogo, dan para pengunjung dari luar. Rangkaian kegiatan Suro-an, biasanya sudah dimulai sekitar dua minggu sebelumnya (1 Muharram) dan satu minggu setelahnya yang telah menyerap dan melibatkan pelaku ekonomi di Ponorogo, mulai pengrajin reyog, kuliner khas Ponorogo, transportasi, parkir kendaraan, penginapan, mainan, dan sebagainya.
Dalam perspektif bahasa masyarakat Ponorogo menggunakan bahasa Jawa campuran. Sebagian terpengaruh oleh bahasa keraton (mataraman) dan sebagian asli bahasa Ponoragan. Pengaruh bahasa keraton ini nampak pada struktur penggunaan bahasa karma,misalnya kata makan diucapkan dengan ragam bahasa sesuai dengan status subyek (orang) yang dikenakan bahasa tersebut. Makan akan menjadi nedi untuk orang yang status sosialnya biasa (rendah), dhahar untuk orang status sosialnya tinggi. Adakalanya penggunaan hiearkhi bahasa ini juga menyangkut usia; nedi untuk yang muda dan dhahar untuk yang tua. Namun demikian, penggunaan bahasa keraton (mataraman) ini tidak selalu konsisten dipakai oleh masyarakat Ponorogo pada umumnya. Mereka yang menggunakannya lebih pada kalangan ningrat (seperti pejabat, keturunan ningrat/keraton, keluarga-keluarga terdidik/guru). Sementara di kalangan rakyat biasa (pada umumnya), mereka lebih memilih menggunakan bahasa ngoko (tidak terikat oleh hierarkhi dan status sosial).
Sedangkan dalam konteks sistem seni, di Ponorogo terdapat berbagai kesenian, diantaranya Reyog Ponorogo, Gong Gumbeng, Tayub, Jemblung, Selawatan Zanzanen dan Maulud, Macapat, seni Gajah-Gajahan, Jaranan Thik, dan lain-lain. Dari sekian seni budaya, yang paling populer adalah seni Reyog Ponorogo. Popularitasnya tidak sekedar menjangkau regional, tetapi sudah berskala nasional. Bahkan sudah sangat dikenal di dunia internasional. Sistem seni pada seni Reyog Ponorogo termasuk kesenian lain yang ada di Ponorogo, sarat dengan simbol budaya yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan peradaban bangsa. Sebuah simbol, menurut Berger, selalu memiliki signifikansi dan resonansi kebudayaan. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan juga memiliki makna yang dalam.[10]Sudah barang tentu, pemaknaan sebuah simbol dan nilai budaya akan selalu membutuhkan pemaknaan sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang mengiringinya.
Eksistensi Pelaku Budaya di Tengah Dinamika Jaman
Akhir-akhir ini, seni budaya memperoleh ruang gerak yang cukup luas. Dalam Konggres Kebudayaan  Indonesia di Jakarta pada tanggal 8-9 Desember 2018, disampaikan bahwa dalam waktu dekat seni budaya akan dimasukkan secara formal ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia dengan pengampu para seniman dan budayawan. Pidato yag disampaikan langsung oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, Prof. Dr. Muhadjir Efendi tersebut mengisyaratkan adanya angin baru bagi dunia seni budaya terkait dengan legitimasi dan eksistensi terhadap para seniman dan budayawan, termasuk seni rupa di Ponorogo.
Eksistensi seni rupa dan berarti juga menyangkut Perupa di Ponorogo akan memiliki akar yang kuat sekaligus keniscayaan besarnya kontribusi terhadap pembangunan di Ponorogo apabila berada dalam ruang dan waktu yang kondusif, yakni diantaranya; memiliki wadah organisasi yang mapan, memperoleh dukungan legitimasi dari pemerintah dan masyarakat, adanya transmisi yang berkelanjutan, adanya dukungan sarana prasarana yang memadai.
Wadah organisasi sangat dibutuhkan bagi eksistensi seni rupa di Ponorogo. Wadah organisasi ini dibutuhkan, bukan sekedar untuk membangun pondasi yang kuat, tetapi juga terutama untuk menghadapi situasi yang “tidak menentu” akibat perubahan jaman. Dalam masyarakat kolektif sebagai bentukan jaman berbasis teknologi dan komunikasi modern yang canggih, sangat mudah mengalami ketidakteraturan. Turner (1977) menyebut situasi tersebut dengan istilah “masyarakat berayun-ayun” dalam sejarahnya. Masyarakat kolektif akan bergerak antara tertata (order) dan tidak tertata (disorder). Dinamika tertata-tidak tertata, yang diistilahkan Turner dengan liminalitas, akan selalu ada dalam sebuah masyarakat. Liminalitas sering menjadi counter terhadap kondisi mapan.[11]Dalam kondisi ini, masyarakat hieralkial digantikan oleh masyarakat setara yang disebut komunitas. Karena itu, wadah organisasi bagi para perupa Ponorogo akan menjadi tempat ekspresi sekaligus eksistensi yang kuat ketika sudah terbentuk komunitas. 
Kedua, adanya dukungan legitimasi dan pemerintah dan masyarakat. Legitimasi pemerintah bisa berupa regulasi dan sejenisnya yang mengarah pada pengakuan secara formal. Apabila wacana dari kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk memasukkan seni budaya ke sekolah, maka komunitas seni rupa akan memperoleh legitimasi yang kuat, bahkan setara dengan mata pelajaran lainnya. Dukungan masyarakat bisa berupa apresiasi yang tinggi terhadap karya lukis. 
Ketiga, memiliki sistem transmisi (pewarisan) yang baik. Kendala utama keberlanjutan seni budaya, termasuk seni rupa adalah persoalan pewarisan. Beratnya pewarisan seni budaya sebenarnya terletak pada rasa bangga pada profesi yang diwariskannya, apalagi pewarisnya adalah generasi muda, yang tidak jarang menganggap profesi yang diwariskannya kurang menarik. Kemenarikan sebuah seni budaya sebenarnya terkait banyak faktor, diantaranya adalah masalah pencitraan. Sementara persoalan citra lebih banyak terkait dengan cara mengemasnya. Pengemasan yang elegan, pasti akan melahirkan image yang elegan pula, sehingga pesona citra inilah yang menarik para pewaris untuk menjadikannya sebagai pilihan ekspresi mereka dan menjadi strategi pewarisan budaya yang sangat efektif. Pengemasan seni budaya juga tidak terlepas dari konteks masyarakat yang melingkupinya. Karakteristik budaya masyarakat berikut ciri kulturalnya akan mempengaruhi citra tersebut.
Keempat, adanya dukungan sarana prasarana yang memadai. Eksistensi seni budaya diantaranya juga bergantung pada adanya dukungan sarana prasana yang memadai. Dalam konteks seni rupa, tempat berkumpul nyaman, tempat pameran karya yang representatif, dan sebagainya menjadi pilar keberadaan perupa Ponorogo.        
Penutup
Seni rupa, laiknya seni budaya lainnya, membutuhkan perawatan yang intens untuk menjaga eksistensi dan kelestariannya. Secara inhern, seni rupa sebenarnya memiliki kekuatan “menyapa” yang dahsyat, karena ia selalu beriringan dengan kekuatan “fitrah” yang dilekatkan oleh Yang Maha Kuasa dalam setiap diri hamba-Nya. Namun demikian, karena berbagai faktor, daya keindahan potensial tersebut sering tertutup oleh kecenderungan masyarakat berbasis ruang dan waktu yang “kurang kondusif”. Untuk membuka katup penutupnya, sudah barang tentu, membutuhkan strategi yang sangat baik; satu sisi harus melibatkan banyak pihak dan banyak aspek; sementara pada sisi yang lain membutuhkan kerja keras yang tidak pernah berhenti di kalangan para Perupa hingga citra elegan seni rupa Ponorogo mampu terwujudkan.  










EKSISTENSI PELAKU SENI RUPA DI KABUPATEN PONOROGO DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Oleh: Agus Triyono, S.Pd

A.   KEBUDAYAAN PANARAGAN SEBAGAI AKAR KEBUDAYAAN
Kabupaten Ponorogo meskipun secara administratif termasuk dalam wilayah Jawa Timur, tetapi adat dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat setempat adalah perpaduan adat dan budaya Mataraman.[1]Hal itu disebabkan secara geo-kultural, Ponorogo termasuk daerah pinggiran dimana magnet budaya Jawa Tengah yang berasal dari Keraton Surakarta turut mempengaruhi adat dan budaya di Kabupaten Ponorogo. 
Ternyata, Kabupaten Ponorogo dengan Kebudayaan Panaragan-nya adalah sebuah etnik kebudayaan sendiri yang. Kebudayaan Panaragan adalah sebuah kebudayaan yang memiliki ciri khas Ponorogo. Etnik Jawa Panaragan ini wilayahnya meliputi barat Gunung Wilis dan sebelah timur Gunung Lawu.[2]Menurut Alip Sugianto, kebudayaan Etnik Jawa Panaragan adalah akulturasi dari kebudayaan Kerajaan Wengker dan kebudayaan Islam. Masuknya Islam di wilayah Ponorogo yang dibawa oleh Raden Bathoro Katong beserta para punggawanya, tidak serta merta meninggalkan kebudayaan lama milik Wengker. 
Salah satu peninggalan dari kebudayaan Panaragan adalah Warok. Warok sejak zaman Kerajaan Wengker, menjadi tokoh masyarakat yang disegani oleh penduduk. Warok identik dengan hal klenik dan magis, serta menyukai warna hitam dan memakai kolor putih. Menurut Hartono, warna hitam mengandung makna keteguhan, dan kolor putih melambangkan kesucian budi, ilmu, dan tingkah laku.[3]Dialek khas masyarakat Panaragan adalah kosakata seperti Jegeg, ora dlomok, dlondongane, patak warak,dan lain sebagainya. Namun dialek khas Kebudayaan Panaragan ini sudah mulai tercampur dengan pengaruh bahasa Jawa pada umumnya. Bahasa khas Panaragan ini hanya sering diucapkan oleh para pemain kesenian Reyog Ponorogo di dalam pentas Obyokan maupun Festival.
Kebudayaan Panaragan seiring perkembangan zaman mulai bercampur dengan kebudayaan Jawa Mataraman yang meliputi Pacitan, Madiun, Magetan, dan terutama dari Keraton Surakarta. Penetrasi kebudayaan Surakarta sejak abad 18 M dimulai dari persinggahan Pakubuwono II ke Ponorogo tepatnya di Pondok Pesantren Gerbang Tinatar, Tegalsari milik Kyai Muhammad Besari, karena Geger Pacinan pada tahun 1742 M.[4]Adipati Ponorogo kemudian memberikan hadiah Kebo Bule Kyai Slamet kepada Sunan Pakubuwono II.[5]Saat ini, Kebo Bule yang dinamai Kangjeng Kyai Slamettersebut setiap malam I Sura (Muharram), di arak dalam acara Kirab Pusaka di Keraton Surakarta. Hubungan kebudayaan yang harmonis dengan Kebudayaan Mataraman inilah yang secara tidak langsung mempengaruhi Kebudayaan Panaragan.
            Hasil dari Kebudayaan Panaragan yang diunggulkan adalah Kesenian Reyog Ponorogo.Kesenian Reyog Ponorogo tidak hanya menjadi identitas dari Kabupaten Ponorogo, namun juga sudah diakui UNESCO sebagai kota asal mula “The Biggest Mask Dance”.[6]Pemerintah Kabupaten Ponorogo bersama Departemen (Kementerian) Pariwisata, Seni Budaya, Pemuda dan Olah Raga serta Yayasan Reyog Ponorogo melakukan usaha pengakuan hak paten atas kepemilikan kesenian Reyog Ponorogo kepada UNESCO, untuk menghindari klaim dari pihak lain diluar Kabupaten Ponorogo. Pengakuan hak cipta atas adanya kesenian Reyog Ponorogo ini sebenarnya telah di dapat dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tahun 2005.[7]

B.   INDUSTRI PARIWISATA BERCORAK PANARAGAN 
Menurut I Gusti Bagus Arjana, budaya yang asli dan budaya tradisional yang bersifat unik perlu dilestarikan karena merupakan asset yang dapat diandalkan memiliki daya tarik bagi wisatawan. Aspek-aspek budaya yang dimiliki oleh komunitas atau etnik tertentu seperti seni rupa, seni kerajinan, seni tari, seni panggung perlu dipertahankan dan dikembangkan.  Kepedulian terhadap seni dan budaya ini akan menjadi lebih concerndi perhatikan karena akan menjadi daya tarik tersendiri. Pengembangan budaya tersebut mempunyai implikasi bagi timbulnya apresiasi dan sikap-sikap yang respek bagi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.[8]
Hasil kebudayaan dari Kesenian Reyog Ponorogo ini kemudian dikembangkan secara lebih luas dan modern oleh pemerintah Kabupaten Ponorogo. Pada tahun 2019, Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo membuat kebijakan dengan menggelar Gebyak Reyog Obyok setiap bulannya pada tanggal 11 di seluruh desa dan kelurahan di Kabupaten Ponorogo. Kebijakan ini sebagai wujud kepedulian pemerintah akan pelestarian kesenian asli warga Kabupaten Ponorogo. Selain itu, usaha yang dilakukan pemerintah adalah dengan menyelenggarakan Festifal Reyog Nasional dan Festival Reyog Mini, yang bertujuan untuk:
1.    Menumbuhkan kepariwisataan di Kabupaten Ponorogo.
2.    Kaderisasi seniman Reyog Ponorogo.
3.    Peningkatan kesejahteraan seniman Reyog Ponorogo.

Kesenian Reyog Ponorogo yang merupakan jenis dari pariwisata budaya, dapat dikembangkan untuk mengangkat perekonomian masyarakat Ponorogo. Menurut Rahim, pariwisata dan ekonomi kreatif, sebagai kementerian yang menangani bidang kepariwisataan, ditetapkan visi sebagai arah ke depan pembangunan pariwisata, yakni “Terwujudnya kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia dengan mengerakkan kepariwisataan dan ekonomi kreatif.” Kepariwisataan dimaksudkan disini adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi dan multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha. Fokus pembangunan ekonomi kreatif di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalakn ide dan pengetahuan dari sumberdaya manusianya sebagai factor produksi utama dalam kegiatan ekonomi.[9]
Seperti yang saat ini berlangsung, yakni rangkaian kegiatan Grebeg Suro tahun 2019. Menurut Jusuf Harsono dan Slamet Santoso, diperkirakan berbagai kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemerintahan, swasta, dan masyarakat langsung tersebut telah berhasil memutar uang sebesar belasan milyar rupiah yang terserap oleh berbagai pelaku ekonomi di Ponorogo, mulai dari pengrajin reyog, penjaja makanan, transportasi, parker kendaraan, mainan, karcis pertunjukan sampai pada dana yang dikelola oleh Event Organizeryang mendapatkan job untuk mempersiapkan pertunjukan panggung pada malam pembukaan maupun penutupan.[10]Salah satu pelaku ekonomi kreatif yang ada di Ponorogo adalah para pelaku seni rupa

C.  EKSISTENSI PELAKU SENI BUDAYA DALAM PERKEMBANGAN SENI RUPA DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna tekstur, dan pencahayaan, dengan acuan estetika. Dalam proses penciptaan karya seni selalu ada proses pemanfaatan budi dan akal. Demikian juga dalam penciptaan karya seni rupa. Karya seni rupa yang diciptakan melalui pemanfaatan budi dan akal secara maksimal dapat menghasilkan karya yang mampu menyentuh jiwa spiritual manusia.[11]
Para pelaku seni rupa di Kabupaten Ponorogo dalam perkembangannya banyak menciptakan karya yang terinspirasi dari kekayaan budaya di Ponorogo, khususnya Kesenian Reyog Ponorogo. Para pelaku seni rupa tersebut banyak menghasilkan karya-karya yang bernafaskan Kebudayaan Panaragan, seperti aksesoris reyog, topeng Pujangga Anom, souvenir, lukisan, dan lain-lain. Dalam momen acara tertentu seperti Grebeg Suro, produksi mereka mampu berlipat-lipat ganda karena banyak pesanan yang datang.
Eksistensi para pelaku seni rupa di Ponorogo pada moment Grebeg Suro akan naik pesat. Banyak para wisatawan-wisatawan dari luar Kabupaten Ponorogo dan mancanegara yang datang ke Kabupaten Ponorogo untuk menyaksikan serangkaian acara Grebeg Suro tahun 2019. Hal inilah yang memunculkan tantangan bagi para pelaku seni rupa di Ponorogo untuk terus berinovasi dan memahami bagaimana keinginan pasar sekarang. Jika hal tersebut tidak dilakukan, bukan tidak mungkin karya mereka akan ketinggalan zaman dan akhirnya ditinggalkan oleh para konsumen. Apalagi di era yang sudah memasuki Revolusi Industri 4.0 seperti saat ini. Revolusi Industri 4.0 sendiri terjadi pada sekitar tahun 2010-an, melalui rekayasa intelegensia dan internet of thingsebagai tulang punggung pergerakan dan konektifitas manusia dan mesin.[12]
Salah satu cara untuk menghadapi tantangan di era tersebut, para pelaku seni rupa di Ponorogo harus mulai mengembangkan ekonomi kreatif berbasis internet. Era indutri keempat erat kaitannya dengan pemanfaatan internet. Bisnis toko online sebagai pembawa perubahan dalam bertransaksi yang pada awalnya konsumen harus datang langsung ke gerai toko hingga pada saat ini cukup mengakses internet melalui smartphone-nya untuk dapat belanjaan.[13]Ekonomi kreatif memiliki potensi yang menjanjikan. Pada tahun 2016, kontribusi ekonomi kreatif terhadap perekonomian nasional mencapai 7,44% dan diproyeksikan akan meningkat dua kali lipat di tahun 2019 dengan nilai mencapai Rp. 1,2 Triliyun.[14]
Ciri ekonomi kreatif adalah berbasis pada ide dan gagasan yang terwujud dalam ide-ide kreatif yang bernilai ekonomi. Tiga komponen dan ciri ekonomi kreatif adalah segitiga kolaborasi berbagai komponen yang berperan dalam industri kreatif, yaitu sebagai berikut:[15]
1.    Para cendekiawan (kaum intelektual).
2.    Dunia bisnis dan industri.
3.    Pemerintah yang memfasilitasi berkembangnya industri merupakan prasyarat mendasar.

Eksistensi para pelaku seni rupa di Ponorogo akan mampu terus bertahan, selama mereka mampu mengikuti perkembangan zaman yang teramat pesat ini, dengan di dukung oleh ide kreatifitas yang tak terbatas, namun tetap harus sesuai dengan pakem kebudayaan yang kita miliki. Jangan sampai membuat sebuah karya tanpa kita mengetahui pakem atau batasan-batasannya, karena hal itu bisa menjadi bom bunuh diri. Para pelaku seni rupa akan semakin maju dan berkembang, apabila kebutuhannya mampu tercukup dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah.
-->